Porkas: Undian Berhadiah yang Kontroversial di Era Orde Baru

Title : Porkas: Undian Berhadiah yang Kontroversial di Era Orde Baru

Sejarah perjudian di Indonesia memiliki babak yang cukup unik, salah satunya ditandai dengan legalisasi undian berhadiah yang dikenal sebagai Porkas atau Pekan Olahraga dan Ketangkasan. Program ini muncul pada era pemerintahan Presiden Soeharto dan sempat menjadi fenomena sosial yang signifikan sekaligus menuai kontroversi besar.

Apa Itu Porkas?

Porkas adalah salah satu bentuk undian berhadiah yang dilegalkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1985. Program ini diresmikan dengan tujuan utama untuk mengumpulkan dana dari masyarakat yang kemudian akan digunakan untuk pembinaan dan peningkatan prestasi olahraga nasional, khususnya untuk membiayai kompetisi sepak bola Galatama yang dikelola PSSI.

Secara teknis, Porkas diklaim berbeda dari perjudian tebak angka sebelumnya (seperti Nalo atau Toto), karena skema permainannya adalah menebak hasil pertandingan 14 klub sepak bola divisi utama, yaitu apakah hasilnya akan Menang-Seri-Kalah (M-S-K). Pemerintah berupaya keras mengemas Porkas sebagai undian berhadiah yang sah dan bukan perjudian murni.

Dasar hukum pelaksanaannya mengacu pada UU No. 22 Tahun 1954 tentang undian, dan diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Sosial.

Masa Kejayaan dan Kontroversi

Tidak lama setelah diluncurkan, Porkas disambut antusias oleh masyarakat dari berbagai lapisan sosial. Kupon Porkas, yang harganya relatif terjangkau, terjual laris. Undian ini terbilang sukses dalam menghimpun dana besar dari masyarakat. Pada pertengahan tahun 1987, Porkas dilaporkan berhasil menyedot dana masyarakat hingga mencapai angka miliaran rupiah.

Namun, di balik kesuksesan finansialnya, Porkas segera menjadi subjek kritik dan penolakan keras. Banyak pihak, terutama kalangan agamawan dan tokoh masyarakat, menuding bahwa:

  1. Perjudian Terselubung: Meskipun dikemas sebagai undian olahraga, esensi dari Porkas dianggap tidak berbeda dengan praktik perjudian, yang bertentangan dengan norma agama dan moral di Indonesia.
  2. Dampak Negatif Sosial: Penjualan kupon Porkas menimbulkan ekses negatif di masyarakat. Banyak masyarakat lapisan bawah yang tergiur hadiah besar dan rela mengorbankan hampir seluruh penghasilannya untuk membeli kupon. Hal ini menyebabkan munculnya candu judi, utang menumpuk, bahkan mendorong tindakan kriminal dan praktik perdukunan demi “hoki” kemenangan.
  3. Menyedot Dana Masyarakat: Porkas dikhawatirkan menyedot dana masyarakat, terutama di pedesaan, yang seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan ekonomi yang lebih produktif.

Akhir dari Porkas dan Kelanjutannya

Gelombang protes dan penolakan yang masif dari masyarakat, termasuk aksi mahasiswa dan fatwa yang mengharamkan praktik tersebut, membuat pemerintah kewalahan.

  • Pada akhir tahun 1987, sebagai respons atas kritik, Porkas diubah namanya menjadi Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB).
  • Tak lama kemudian, undian berhadiah berkedok sumbangan lain, Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB), muncul dan semakin memperparah polemik perjudian legal di Indonesia.
  • Meskipun sempat berganti nama dan konsep, desakan publik tidak mereda. Akhirnya, SDSB (dan praktis, era judi legal yang disponsori pemerintah) dicabut dan dilarang peredarannya secara resmi pada tahun 1993.

Dengan demikian, Porkas adalah bagian dari sejarah ekonomi dan sosial Indonesia pada masa Orde Baru, mencerminkan upaya pemerintah menggalang dana untuk pembangunan (khususnya olahraga) melalui skema undian berhadiah, namun akhirnya harus dihentikan karena dianggap merusak moral dan menimbulkan dampak negatif yang meluas di tengah masyarakat.

Link daftar silakan di klik : https://panached.org/